Jakarta, NU Online
Urusan penistaan dan
penodaan agama selalu muncul dan berulang dari zaman ke zaman. Salah
satu yang cukup menghebohkan era 90-an adalah ketika Tabloid Monitor yang
dipimpin oleh Aswendo Atmowiloto menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan
ke-11 sebagai tokoh yang dikagumi publik, kalah populer dengan
artis-artis seronok asal Hollywood.
Umat Islam merasa terhina
dan sejumlah organisasi pemuda turun ke lapangan dan mengobrak-abrik
kantor tabloid tersebut. Diantara yang ikut dalam rombongan pendemo
tersebut seorang remaja tanggung usia SMP asal Priok, Abi, yang memiliki
semangat besar membela Islam.
Bukan hanya di jalanan, Abi juga
mengikuti berbagai pertemuan dan diskusi yang digelar membahas kasus
tersebut. Semuanya dilakukan atas nama membela martabat Islam. Salah
satu yang dihadiri adalah kajian Paramadina di hotel Kartika Chandra
Jakarta. Abi menyaksikan perdebatan sengit antara Nurcholis Madjid dan
Djalaluddin Rahmat dengan peserta bernama Hasan Dalil, yang dengan
berapi-api menggugat sikap kedua tokoh tersebut yang dianggapnya membela
Wendo.
Hasan Dalil memanaskan situasi dengan berkali-kali
meneriakkan kalimat takbir. Abi pun merasa terprovokasi dan semakin
gemas ingin menyeret Aswendo.
Informasi lain, Abi juga mendengarkan selentingan dari kiri dan kanan bahwa Gus Dur di majalah Tempo menuliskan
pandangannya dan pembelaannya atas apa yang dilakukan Aswendo, sebuah
pemikiran yang tidak populer di kalangan aktifis yang pada saat itu
umumnya sangat geram.
Ia sendiri mengaku tidak membaca tulisan
tersebut, maklum masih SMP, hanya diceritakan oleh seorang novelis
populer yang dikaguminya dan terlibat dalam aksi massa menentang
Aswendo.
Di kediaman penulis tersebut di bilangan Utan Kayu
Jakarta, malam tersebut, mereka berbincang tentang kasus tabloid
tersebut dan rencana kelanjutan aksinya, termasuk membahas pembelaan Gus
Dur terhadap Aswendo. Satu kata-kata yang diingat dari sahibul bait
adalah “tokoh zionis yang wajib dibunuh itu bernama Gus Dur!"
Sejak saat itulah tertanam kebencian di lubuk Abi pada sosok bernama Gus Dur, dan berbisik dalam hati, "Saya harus membunuhnya!"
Selang
satu tahun kira-kira setelah kejadian itu, di kediaman duta besar Iran,
diselenggarakan acara Majelis Ta'ziyah Syahadah Al Husain. Ia merupakan
salah satu pesertanya karena sedang bergelora mempelajari ajaran ahlul
bait.
Ketika sedang menunggu pintu utama dibuka, seseorang turun dari mobil
dan berjalan mendekatinya, persis di sebelah kanannya, berkacamata
tebal dengan rambut belah pinggir, gemuk, berkemeja lengan pendek, GUS
DUR!
Ia merasa bergetar, salah tingkah, “Bukankah orang ini yang ingin saya bunuh?” bisiknya dalam hati, konyolnya ia malah menunduk ta'ziem dan menarik telapak tangan kanan Gus Dur, seraya menciumnya dengan penuh rasa hormat.
Dan,
hawa benci yang sempat tertanam itu rontok menjadi rasa kagum dan penuh
penyesalan, apalagi di dalam Majelis Asyuro yang hanya dihadiri kurang
lebih 50 orang itu, ia duduk persis di sebelah Gus Dur.
Ia tidak
dapat mengikuti majelis dengan khusyu, karena perhatian hati dan
pikirannya terampas oleh sosok di sebelahnya yang khusyu mendendangkan
shalawat Nabi.
“Bagaimana mungkin orang yang sebegitu mencintai Nabi bisa saya benci?”
Pada
hari itu pula, ia merasa terberkati, selain berada di majelis do'a,
tapi juga karena hingga tuntas majelis itu, ia berada di sisi ulama yang
banyak disalahfahami orang, juga begitu banyak di cintai umat, sungguh
sebuah perkenalan yang indah.
Apalagi setelah mendalami tasawuf,
ia semakin menghormati Gus Dur dan menganggapnya sebagai orang yang alim
dan mulia, yang tidak bisa dilihat dengan kaca mata biasa. Ia beberapa
kali datang ke kediaman Gus Dur di Ciganjur dan dibantu dalam
menyelenggarakan acara pengajian. “Gus Dur orang yang tabarruki.”
Sumber : NU.OR.ID
Wednesday 8 January 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)