Sunday 16 March 2014

Tahlilan Warga NU (Nahdhliyin)

Tahlilan sudah menjadi adat kaum muslimin di Indonesia, utamanya warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penganut paham Ahlussunnah wal jamaah (ASWAJA) sebagai upaya bertawashul kepada Allah SWT untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia atau ahli kubur pada umumnya,

Tahlilan berasal dari kata Tahlil. Tahlil secara lughat berarti bacaan لاإله إلاالله (Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti bacaan سبحان الله (Subhanallah), Tahmid bacaan الحمد لله (Alhamdulillah).

Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang dinyatakan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan mengucapkan Subhanallah.

Demikian pula Tahlil dalam pengertiannya secara urfi atau istilahi ialah meng-esakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah


لاإله إلاالله أي لامعبود بحق إلاالله

Artinya: Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, atau tidak ada pengabdian yang tulus kecuali kepada Allah

Kemudian di dalam melaksanakan bentuk pengabdian manusia sebagai hamba kepada  Allah SWT, sudah pasti tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut asma Allah akan tetapi harus disertai prilaku-prilaku (pengamalan syariat) seorang hamba yang mentaati perintah perintah Allah serta menjauhi larangan larangan-Nya, dan perilaku tersebut digambarkan dalam rangkaian bacaan-bacaan pada tahlilan.

Jadi Tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu Tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di Dunia dan di akhirat kelak.

Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56إن الله وملائكته يصلون على النبي ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih

Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih

Sumber : NU.OR.ID 

Wednesday 8 January 2014

Gus Dur dan Remaja yang Ingin Membunuhnya

Jakarta, NU Online
Urusan penistaan dan penodaan agama selalu muncul dan berulang dari zaman ke zaman. Salah satu yang cukup menghebohkan era 90-an adalah ketika Tabloid Monitor yang dipimpin oleh Aswendo Atmowiloto menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan ke-11 sebagai tokoh yang dikagumi publik, kalah populer dengan artis-artis seronok asal Hollywood.

Umat Islam merasa terhina dan sejumlah organisasi pemuda turun ke lapangan dan mengobrak-abrik kantor tabloid tersebut. Diantara yang ikut dalam rombongan pendemo tersebut seorang remaja tanggung usia SMP asal Priok, Abi, yang memiliki semangat besar membela Islam.

Bukan hanya di jalanan, Abi juga mengikuti berbagai pertemuan dan diskusi yang digelar membahas kasus tersebut. Semuanya dilakukan atas nama membela martabat Islam. Salah satu yang dihadiri adalah kajian Paramadina di hotel Kartika Chandra Jakarta. Abi menyaksikan perdebatan sengit antara Nurcholis Madjid dan Djalaluddin Rahmat dengan peserta bernama Hasan Dalil, yang dengan berapi-api menggugat sikap kedua tokoh tersebut yang dianggapnya membela Wendo.

Hasan Dalil memanaskan situasi dengan berkali-kali meneriakkan kalimat takbir. Abi pun merasa terprovokasi dan semakin gemas ingin menyeret Aswendo.

Informasi lain, Abi juga mendengarkan selentingan dari kiri dan kanan bahwa Gus Dur di majalah Tempo menuliskan pandangannya dan pembelaannya atas apa yang dilakukan Aswendo, sebuah pemikiran yang tidak populer di kalangan aktifis yang pada saat itu umumnya sangat geram.

Ia sendiri mengaku tidak membaca tulisan tersebut, maklum masih SMP, hanya diceritakan oleh seorang novelis populer yang dikaguminya dan terlibat dalam aksi massa menentang Aswendo.

Di kediaman penulis tersebut di bilangan Utan Kayu Jakarta, malam tersebut, mereka berbincang tentang kasus tabloid tersebut dan rencana kelanjutan aksinya, termasuk membahas pembelaan Gus Dur terhadap Aswendo. Satu kata-kata yang diingat dari sahibul bait adalah “tokoh zionis yang wajib dibunuh itu bernama Gus Dur!"
Sejak saat itulah tertanam kebencian di lubuk Abi pada sosok bernama Gus Dur, dan berbisik dalam hati, "Saya harus membunuhnya!"

Selang satu tahun kira-kira setelah kejadian itu, di kediaman duta besar Iran, diselenggarakan acara Majelis Ta'ziyah Syahadah Al Husain. Ia merupakan salah satu pesertanya karena sedang bergelora mempelajari ajaran ahlul bait.
Ketika sedang menunggu pintu utama dibuka, seseorang turun dari mobil dan berjalan mendekatinya, persis di sebelah kanannya, berkacamata tebal dengan rambut belah pinggir, gemuk, berkemeja lengan pendek, GUS DUR!

Ia merasa bergetar, salah tingkah, “Bukankah orang ini yang ingin saya bunuh?” bisiknya dalam hati, konyolnya ia malah menunduk ta'ziem dan menarik telapak tangan kanan Gus Dur, seraya menciumnya dengan penuh rasa hormat.

Dan, hawa benci yang sempat tertanam itu rontok menjadi rasa kagum dan penuh penyesalan, apalagi di dalam Majelis Asyuro yang hanya dihadiri kurang lebih 50 orang itu, ia duduk persis di sebelah Gus Dur.

Ia tidak dapat mengikuti majelis dengan khusyu, karena perhatian hati dan pikirannya terampas oleh sosok di sebelahnya yang khusyu mendendangkan shalawat Nabi.

“Bagaimana mungkin orang yang sebegitu mencintai Nabi bisa saya benci?”

Pada hari itu pula, ia merasa terberkati, selain berada di majelis do'a, tapi juga karena hingga tuntas majelis itu, ia berada di sisi ulama yang banyak disalahfahami orang, juga begitu banyak di cintai umat, sungguh sebuah perkenalan yang indah.

Apalagi setelah mendalami tasawuf, ia semakin menghormati Gus Dur dan menganggapnya sebagai orang yang alim dan mulia, yang tidak bisa dilihat dengan kaca mata biasa. Ia beberapa kali datang ke kediaman Gus Dur di Ciganjur dan dibantu dalam menyelenggarakan acara pengajian. “Gus Dur orang yang tabarruki.”

Sumber : NU.OR.ID
 

Tentang Kami

Pena Alfaqir adalah perwujudan kreasi inspirasi dan saling berbagi