Wednesday 23 October 2013

Imam Junaid dan Orang yang Naik Haji


Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya.

“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.

”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.

”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”

”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”

”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”

“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”

“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”

“Itu semua tak terlintas di benak saya.”

“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”

“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.

“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”

“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”

”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”

Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah.

“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”

“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”

“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”

“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”

“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”

“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”

“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”

“Tidak juga, Imam.”

“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”

Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:

Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.”


Sumber : www.nu.or.id

Wednesday 16 October 2013

Kholifah Umar dan Orang yang Mengutuknya



Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab RA melakukan perjalanan dinas rahasia, sendiri tanpa pengawalan dan tanpa membawa staf.
Ia pergi dengan biaya sendiri, tidak menggunakan uang negara walaupun negara menyediakan biaya perjalanan dinas. Ia khawatir kalau membawa rombongan biaya perjalanan dinas itu akan membengkak.
Dengan mengenakan pakaian rakyat biasa, ia ingin tahu keadaan rakyatnya secara langsung.
Pada suatu dusun, Umar bin Khattab melihat seorang lelaki  sedang duduk di muka kemahnya di bawah pohon. Dari dalam kemah itu, ia mendengar suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Setelah memberi salam Umar bertanya.
“Apa yang sedang kau lakukan, wahai saudaraku?”
“Aku sedang menunggui istriku yang akan melahirkan,” jawab lelaki itu.
“Siapa yang menolongnya di dalam?”
“Tidak ada...”
“Jadi istrimu sendirian?” tanya Khalifah tidak mengerti.
“Iya, aku tidak punya uang untuk membayar bidan,” jawab lelaki itu dengan muka sedih.
“Kalau begitu, suruh istrimu menahan sebentar, aku akan segera kembali,” ucap Khalifah.
Khalifah Umar  segera memacu kudanya, meninggalkan lelaki itu. Dan tak jelang lama setelah itu ia kembali bersama seorang perempuan. Tanpa bicara perempuan itu langsung masuk ke dalam tenda sang lelaki  yang baru mengerti apa yang sedang terjadi.
“Terima kasih dan maaf telah merepotkanmu,” kata lelaki itu.
“Tidak apa-apa.. tapi, ngomong-ngomong mengapa kamu tidak melaporkan keadaanmu kepada Khalifah Umar bin Khattab? Bukankah kau berhak mendapatkan jaminan dari negara?” tanya Umar .
Lelaki itu langsung berdiri, dia memandang orang di depannya dengan sorot mata yang tajam dan menusuk. Umar terkejut melihat reaksi lelaki itu.
“Jangan kau sebut nama orang terkutuk itu di hadapanku!”
“Loh.. memangnya kenapa, wahai saudaraku?” Umar penasaran.
“Orang itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia tak punya perhatian kepada rakyat kecil. Dia hanya peduli dengan orang-orang kaya yang akan melanggengkan kekuasaanya,” jawab lelaki itu penuh amarah.
“hmm.. kau sudah pernah bertemu dengannya?”
“Belum, lagi pula untuk apa aku bertemu dengannya?”
“Kalau seandainya kau bertemu dengannya. Apa yang akan kau lakukan?” tanya Umar tersenyum.
“Aku akan membunuhnya!”
Tiba-tiba terdengar suara bayi menangis dari dalam kemah.
“Ya Amirul mukminin, alhamdulillah ibu melahirkan dengan selamat! Bayi pun sehat!” teriak perempuan yang datang dengan Khalifah tadi.
Khalifah Umar bin Khattab segera bersujud syukur dan berdoa kepada Allah. Sementara itu, si lelaki gembira bercampur heran. Gembira karena istri dan anaknya selamat, dan heran karena lelaki di sebelahnya dipanggil dengan sebutan “Amirul Mukminin”.
“Lekas kau temui istrimu!, dan ini sekedar membantu perawatan anakmu.”
Umar memberikan sekantung uang yang segera diterima lelaki itu dengan suka cita. Sebelum lelaki itu masuk, dia memandang Umar.
“Wahai tuan, siapa tuan sebenarnya?” tanya lelaki itu penasaran.
“Aku, Umar bin Khattab, Khalifah yang terkutuk itu,” jawab Umar sambil tersenyum.

Monday 7 October 2013

Aqiqahnya Janin yang Meninggal

 

Fitroh perempuan adalah mengandung dan melahirkan seorang bayi. Terkadang seoarang ibu mengandung selama Sembilan bulan, terkadang lebih, terkdanag juga kurang. Selama itu pula orang tua dengan amat sabar menunggu dan menanti kehadiran sang bayi.
Berapapun umur kandungan itu, ketika telah terlahir ke dunia dianjurkan (sunnah) bagi kedua orang tuanya untuk memberikan nama, aqiqah dengan dua ekor kambing bila sang bayi laki-laki dan satu ekor bila perempuan.

Namun demikian terkadang takdir menentukan lain. Proses persalinan adalah perjuangan bagi kaum perempuan. Tidak jarang sang ibu merelakan nyawanya demi sang bayi, ataupun malah keduanya tidak dapat meneruskan nikmatnya kehidupan dunia. Lantas apakah masihkan disunnahkan memberikan nama dan beraqiqah kepada bayi yang sudah meninggal?

Mengenai hal ini Kitab Fatawa Isma’il Zain menerangkan dengan dua rincian pertama, jika bayi itu tidak pernah lahir di dunia (meninggal dalam kandungan) maka tidak ada anjuran memberikan aqiqah dan nama.  Namun, jika bayi tiu sempat menghirup kehidupan setelah dilahirkan meskipun hanya beberapa saat maka disunnahkan bagi orang tuanya untuk memberikan nama dan aqiqah kepadanya.

فلا تسن تسمية للجنين ولا عقيقة عنه، والتسمية إنما تسن في حق المولود وكذلك العقيقة لا تسن إلا عن المولود
Tidak disunahkan memberi nama bagi janin, begitu juga aqiqah, karena memberi nama dan aqiqah hanya disunahkan bagi anak bayi yang telah terlahir kedunia

أما ما دام في بطن أمه ومات في بطنها ودفن معها، فلا تسن له تسمية ولا عقيقة
Sedang untuk janin yang maninggal dalam kandungan ibunya, lalu dikuburkan bersama ibunya maka tidak disunahkan memberikan nama dan aqiqah bagi janin tersebut.

Sumber : http://www.nu.or.id
 

Tentang Kami

Pena Alfaqir adalah perwujudan kreasi inspirasi dan saling berbagi